Kita Semua Munafik, Sadarkah? (1)
Meta AI_Ilustrasi “Kita Semua Munafik, Sadarkah?”
Dalam kehidupan sehari-hari, banyak orang cenderung mudah menilai atau mengkritik orang lain, tetapi gagal menerapkan standar yg sama ketika mereka sendiri menghadapi keadaan serupa. Fenomena ini diketahui sebagai”hypocrisy gap”atau kesenjangan hipokrisi, di mana perseorangan merasa lebih mudah menuntut orang lain daripada memenuhi ekspektasi tersebut sendiri (Alicke et al., 2001). Penelitian dalam psikologi sosial menunjukkan bahwa manusia memilikibias evaluasi diri (self-serving bias), di mana mereka cenderung memandang diri sendiri lebih positif sementara mengkritik orang lain lebih keras (Pronin et al., 2002).
Ketika seseorang menyadari ketidaksesuaian antara perkataan & tindakannya, ia sering mengalamidisonansi kognitifketegangan psikologis akibat kontradiksi dalam keyakinan & perilaku (Festinger, 1957). Untuk mengurangi ketidaknyamanan ini, perseorangan mungkin mengerjakanrasionalisasiatau mencari pembenaran atas tindakannya. Misalnya, seseorang yg mengkritik koruptor mungkin membenarkan tindakan curangnya sendiri dengan alasan “semua orang mengerjakannya” (Bandura, 1999). Hal ini menunjukkan bahwa moralitas seringkali bersifatrelatiftergantung pada posisi subjek.
Faktor lain yg memperparah fenomena ini adalahtekanan norma sosial. Menurut Cialdini & Trost (1998), manusia cenderung menyesuaikan perilaku dengan kelompoknya, bahkan kalau bertentangan dengan nilai pribadi. Dalam kasus”moral hypocrisy”, orang mungkin mengecam suatu tindakan di depan umum, tetapi diam-diam melanggarnya karena pengaruh lingkungan (Lammers et al., 2010). Studi oleh Batson et al. (1999) menemukan bahwa banyak orang bersikap keras kepada pelanggaran moral orang lain, tetapi memberi kelonggaran untuk diri sendiri.
Contoh nyata dari fenomena ini dapat dilihat dalam kasuscyberbullying. Banyak orang yg dengan tegas mengecam aksi perundungan di media sosial, tetapi tanpa disadari justru ikut menyebarkan hate speech atau komentar negatif kepada orang lain (Kowalski et al., 2014). Studi oleh Tandoc et al. (2015) menemukan bahwaefek deindividuasi(hilangnya pencerahan diri saat berada dalam kerumunan online) menciptakan orang lebih mudah mengerjakan hal yg mereka kritik. Hal serupa terjadi dalam isu korupsi, di mana masyarakat marah melihat pejabat korup, tetapi membiarkan praktik suap kecil-kecilan dalam urusan sehari-hari (Gorsira et al., 2018).
Salah satu penyebab ketidakmampuan orang untuk konsisten antara ucapan & tindakan adalahkurangnya empati. Penelitian menunjukkan bahwa manusia cenderung menilai diri sendiri berdasarkanniat, sementara menilai orang lain berdasarkanhasil(Pronin, 2008). Namun, ketika diminta untuk mengambilperspektif orang ketiga(melihat diri sendiri dari sudut pandang luar), seseorang lebih mungkin menyadari hipokrisinya (Eyal et al., 2018). Teknik ini dipakai dalam terapi kognitif untuk mengurangi bias evaluasi & meningkatkan kejujuran diri.
Ketidakkonsistenan antara perkataan & perbuatan tidak cuma merusak integritas pribadi, tetapi jugamengikis kepercayaan sosial. Masyarakat yg penuh dengan standar ganda cenderung mengalamierosi nilai moral kolektif(Haidt, 2012). Solusinya, menurut penelitian, adalah denganmeningkatkan pencerahan diri (self-awareness)melalui refleksi & pendidikan etika yg tidak cuma fokus pada teori, tetapi juga praktik (Schwartz, 2016). Selain itu, menciptakan lingkungan yangmempertanggungjawabkan tindakan(accountability) dapat mengurangi kecenderungan hipokrisi (Lerner & Tetlock, 1999).
Budaya juga memainkan peran penting dalam mempertajam atau justru mengurangi fenomena hipokrisi sosial. Dalam masyarakat kolektivistik, tekanan untukmenjaga citra sosial (face-saving)seringkali lebih kuat daripada prinsip moral perseorangan (Triandis, 2018). Misalnya, seseorang mungkin secara terbuka mengutuk perilaku tidak jujur demi dianggap bermoral oleh kelompok, tetapi diam-diam mengerjakannya demi kepentingan keluarga atau jaringan sosialnya (Gelfand et al., 2011). Sebaliknya, penelitian oleh Henrich et al. (2010) menunjukkan bahwa masyarakat individualistik cenderung lebih konsisten antara ucapan & tindakan karena tekanan norma lebih bersifat internal. Namun, keduanya tetap rentan terhadapdouble standardketika kepentingan pribadi terancam.
Media massa & sosial sering jadi panggungvirtue signalingmenunjukkan sikap moral tanpa tindakan nyata (Tosi & Warmke, 2020). Di satu sisi, media dapat mengekspos ketidaksesuaian antara perkataan publik figur dengan perilakunya (sehingga meningkatkan akuntabilitas). Di sisi lain, algoritma media sosial justru memperkuatmoral grandstanding, di mana orang bersaing terlihat paling bermoral tanpa refleksi diri (Grubbs et al., 2019). Studi tentangcancel culturemembuktikan bahwa masyarakat mudah menghakimi kesalahan orang lain di media sosial, tetapi jarang mengakui kesalahan serupa dalam diri sendiri (Ng, 2020).
Mengatasi kesenjangan antara evaluasi & tindakan memerlukan intervensi sistematis, khususnya melaluipendidikan tabiat berbasis bukti. Program sepertiRestorative Justicedi sekolah atau pelatihan etika korporat yg menekankanself-reflectionterbukti mengurangi perilaku hipokrit (Ahmed & Braithwaite, 2020). Institusi juga perlu mendorongtransparansidanfeedback loops, misalnya dengan sistem pelaporan anonim atau reward bagi yg konsisten antara nilai & praktik (Trevio et al., 2014). Penelitian oleh Bazerman & Tenbrunsel (2011) menegaskan bahwa lingkungan yg mendorongkesadaran etis harian(bukan sekadar aturan) lebih efektif mencegah standar ganda.