AS & Israel Keroyok Iran, Apa Dampaknya Jika Selat Hormuz Diblokir?
Israel yg memerangi Iran, disusul campur tangan Amerika Serikat yg menolong sekutunya, menciptakan perang di kawasan Timur Tengah semakin bergejolak.
Dalam kondisi dikeroyok, Iran kini mempertimbangkan pembokiran Selat Hormuz. Di masa lalu, Selat Hormuz sudah jadi sumber gejolak.
Untuk melihat arti penting Selat Hormuz, tentu tak dapat dilepaskan dari sejarahnya. Diketahui, hubungan antara Republik Islam Iran & Amerika Serikat sudah melalui fase konflik berkepanjangan sejak Revolusi Iran pada tahun 1979.
Dalam penelitian Bonifasius Kendri Grasias Nawaskoro, yg berjudul “Respon Iran Menghadapi Sanksi Ekonomi Amerika Serikat & Uni-Eropa: Ancaman Blokade Selat Hormuz”, dijelaskan bahwa ketegangan antara kedua negara meningkat sejak masa Perang Teluk I (19801988), & kian memburuk setelah pemberlakuan embargo oleh Presiden Bill Clinton (Raharjo 2012).
Dikutip dari repository.unpar.ac.id, Nawaskoro menyoroti bahwa disparitas ideologi merupakan akar utama dari konflik tersebut. Iran membawa ideologi yg dianggap fundamental pasca-revolusi yg secara eksplisit menolak pengaruh Barat, khususnya Amerika Serikat (Karabel 1995). Kekhawatiran AS kepada penyebaran ideologi ini jadi alasan di balik upaya pembatasan kekuatan regional Iran.
Kedua negara memiliki kepentingan yg saling bertentangan di kawasan. Amerika berupaya menanamkan demokrasi, memerangi terorisme, & memastikan kelancaran energi dunia (Byaman & Moller 2016), sementara Iran menolak dominasi asing & mendorong kerja sama regional (Bo 2009). Richards (2015) mencatat bahwa kelangsungan hidup rezim Iran jadi motivator utama kebijakan luar negerinya, termasuk perluasan pengaruh ideologis.
Selat Hormuz: Jalur Minyak Dunia yg Diperebutkan
Selat Hormuz memainkan peran krusial dalam konflik antara Iran & Amerika Serikat. Selat ini jadi satu-satunya akses laut menuju Teluk Persia, yg dipakai untuk menyalurkan hampir sepertiga pasokan minyak dunia. Dalam laporannya, Nawaskoro merujuk pada Slade (2019) yg menjelaskan bahwa selat ini sangat penting bagi ekspor minyak & gas dari kawasan Timur Tengah.
Menurut Gilsinan (2019), Amerika memiliki tiga kepentingan utama di wilayah ini:
Menjaga keamanan pelayaran internasional, mencegah proliferasi senjata pemusnah massal (WMD), & mengatasi ancaman ekstremisme. Untuk itu, AS membangun pangkalan militer Fifth Fleet di Manama, Bahrain (Aljazeera 2019). Langkah ini diambil seiring dengan pemberian sanksi ekonomi kepada Iran & keluarnya AS dari kesepakatan nuklir JCPOA pada 2018.
Iran pun menyesuaikan pendekatannya kepada Selat Hormuz. Nawaskoro mencatat bahwa Iran mengpakai selat sebagai alat tekanan kepada AS setelah sanksi dijatuhkan. Tindakan tersebut meliputi penyerangan kapal tanker asing, fasilitas milik AS, serta ancaman untuk menutup Selat Hormuz sepenuhnya pada tahun 2018 (Meredith 2020; Slade 2019).
Pakar Kajian Timur Tengah & Politik Luar Negeri dari Universitas Gadjah Mada, Siti Mutiah Setiawati, menyebutkan Selat Hormuz merupakan jalur vital pengiriman minyak mentah dari Timur Tengah ke seluruh dunia. Hampir sepertiga pasokan minyak dunia yg dibawa melalui jalan laut melalui selat ini.
Menurutnya, ancaman penutupan selat oleh Iran adalah strategi defensif kepada tekanan Barat, khususnya terkait program nuklirnya.
“Ancaman Iran akan menutup Selat Hormuz hanyalah provokasi karena sering merasa dipojokkan terkait pengembangan program nuklirnya,” ujarnya dalam wawancara yg dipublikasikan UGM, 16 Januari 2012.
Siti menegaskan pentingnya selat ini dalam konteks energi global. “Apabila Iran benar-benar menutup selat ini, maka perekonomian dunia akan terganggu karena akan mengurangi pasokan minyak mentah & gas alam cair,” ujarnya.
Indonesia sebagai negara kawan Iran dalam hal ekspor-impor minyak mentah tentunya akan terkena efek kalau meletus perang Iran-Amerika.
Risiko Global
Kepadatan lalu lintas tanker di Selat Hormuz menjadikan wilayah ini sebagai titik paling rentan dalam sistem distribusi energi dunia. Dalam tulisannya berjudul “The Strait of Hormuz and Secure Oil Routes: A Challenge to U.S. Strategy”, Richard Earl Hansen, seorang peneliti kebijakan luar negeri, menyoroti pentingnya selat ini bagi strategi energi Amerika Serikat.
Hansen mengutip peringatan dari Sheikh Ahmad Zaki Yamani, Menteri Perminyakan Arab Saudi, bahwa kaum teroris mungkin akan menenggelamkan sebuah kapal tanki di perairan yg sempit ini & dengan begitu memblokir 60 persen minyak yg dibutuhkan Dunia Barat.
Menanggapi ancaman ini, perusahaan asuransi Lloyd di London menyatakan perlunya “suatu asuransi perang yg spesifik bagi kapal-kapal yg mengarungi Teluk Parsis.”
Situasi jadi semakin kompleks pasca-Revolusi Islam. Hansen mencatat bahwa meskipun gangguan kepada impor minyak AS saat itu cuma berskala kecil, hal itu sudah cukup memicu kelangkaan bahan bakar domestik.
Kalau kekurangan impor minyak yg relatif kecil itu saja sudah sanggup menggoncangkan kehidupan ekonomi Amerika Serikat, bayangkan apa yg akan terjadi pada industri & perekonomiannya seandainya dilancarkan suatu blokade Berlin di Selat Hormuz, tulis Hansen.