Rekor! Utang Indonesia Capai 9.100 Triliun
Utang Indonesia mencapai 9.100 triliun, kabar yg sangat mengejutkan bukan?
Saya hingga bingung, hutang begitu akbar tetapi kok dapat hasilnya nol besar.
Pembangunan mangkrak, banyak anak yg menderita gizi buruk & stunting, masyarakatnya pun jauh dari mengatakan sejahtera. Bahkan tak jarang saya menemukan orang-orang yg bekerja di pemerintahan sebagai tenaga kontrak tapi dapat gaji jauh dari UMR yg ditetapkan di daerah. Sangat aneh!
Yang jadi pertanyaan lebih jauh, apakah kondisi ekonomi Indonesia masih di taraf yg kondusif dengan nilai utang sebesar itu?
Berdasarkan data terbaru, rasio utang Indonesia kepada Produk Domestik Bruto (PDB) masih berada pada level 30,6 persen, yg secara hukum masih tergolong kondusif karena masih jauh di bawah batas maksimum yg ditetapkan undang-undang, yakni 60 persen dari PDB. Namun, secara psikologis & persepsi publik, angka ini mulai menimbulkan kekhawatiran, khususnya karena tren kenaikan utang yg terus berlanjut dari tahun ke tahun.
Yang perlu dicermati adalah bagaimana utang tersebut dipakai. Jika dialokasikan untuk proyek-proyek strategis & produktif, tentu utang dapat jadi alat untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Tapi kenyataannya, banyak program akbar & ambisius yg justru menimbulkan pertanyaan tentang efektivitas & efisiensinya.
Contohnya adalah program Makan Bergizi Gratis (MBG) yg disebut-sebut akan menyerap dana Rp71 triliun. Program ini awalnya bertujuan mulia untuk menekan angka stunting & meningkatkan kesehatan anak, tetapi karena banyak penerima yg tidak tepat sasaran, sehingga anggaran membludak. Sekarang malah program ini dilanjutkan dengan memberikan camilan hingga bahan mentah kepada anak-anak, sehingga esensi dari program justru sepenuhnya hilang.
Sementara itu, di sisi lain, pemerintah harus menghadapi beban pembayaran utang jatuh tempo yg mencapai Rp178,9 triliun cuma dalam bulan Juni ini saja. Untuk mengatasi tekanan tersebut, pemerintah mengandalkan strategi seperti debt switch (menukar surat utang jatuh tempo dengan surat utang baru berjangka lebih panjang) & juga memanfaatkan Saldo Anggaran Lebih (SAL) yg mencapai Rp459,5 triliun.
Namun, apakah ini solusi jangka panjang? Tentu tidak. Strategi tersebut cuma memberikan nafas sementara, bukan menyelesaikan akar masalah. Jika utang terus bertambah tanpa peningkatan kualitas belanja negara, maka generasi masa depanlah yg akan menanggung dampaknya.