Lelaki yg Menyimpan Hujan
Di sebuah kota kecil yg jarang dikunjungi orang, hiduplah seorang lelaki tua bernama Pak Darma. Ia tinggal sendirian di rumah kayu sederhana di pinggir hutan. Usianya sudah melewati tujuh dekade, rambutnya putih semua, & matanya seperti menyimpan seribu cerita. Yang paling unik dari Pak Darma adalah kegiatannya yg aneh: ia mengumpulkan hujan.
Setiap kali hujan turun, Pak Darma akan keluar rumah membawa ember, baskom, & botol kaca. Ia menaruh semua itu di halaman, lalu duduk di bawah payung sambil mengamati tetes demi tetes air yg turun dari langit. Setelah hujan reda, ia akan mengambil semua wadah itu & menyimpan air hujan ke dalam botol kaca yg diberi label tanggal & waktu.
Warga desa menganggap Pak Darma aneh. Anak-anak sering menirukan gayanya dengan mengejek, “Eh, tuh ada si kakek botol hujan!” Tapi Pak Darma tidak pernah marah. Ia cuma tersenyum & kembali ke rumahnya.
Suatu hari, seorang wartawan muda dari kota bernama Dika datang ke desa itu. Ia mendengar kabar tentang lelaki tua yg menyimpan hujan & merasa ini dapat jadi cerita menarik. Dika mendatangi rumah Pak Darma & memperkenalkan diri.
Apa benar Bapak mengoleksi hujan? tanya Dika sambil tertawa kecil.
Pak Darma mengangguk, lalu mengajak Dika masuk ke rumahnya. Di dalam rumah itu, terdapat ratusan botol kaca dari berbagai ukuran, tertata rapi di rak-rak kayu. Setiap botol berisi air bening & dilabeli tulisan tangan: Hujan 12 Juni 1998, jam 3 sore tangis kecil.
Hujan 21 Maret 2001 angin tenang & rindu.
Hujan 5 Oktober 2012 istri pergi.
Dika terdiam.
“Setiap hujan punya cerita,” mengatakan Pak Darma pelan. “Kadang ia datang membawa kabar gembira, kadang membawa perpisahan.”
Pak Darma kemudian bercerita bahwa ia mulai menyimpan hujan sejak istrinya, Bu Lestari, meninggal dunia. Mereka dulu sering duduk berdua di teras rumah saat hujan turun, menikmati suara rintik yg menenangkan. Setelah Bu Lestari tiada, Pak Darma merasa ada bagian dari kenangan yg ikut menghilang bersama setiap hujan. Maka ia mulai menyimpannya, satu demi satu, sebagai pengganti pelukan yg tak dapat lagi ia dapatkan.
“Air ini tak akan pernah dapat diminum. Tapi ia dapat menciptakanku mengingat,” ucapnya.
Dika, yg awalnya harap menciptakan berita jenaka tentang pria aneh penyimpan hujan, malah duduk termenung. Ia merasa seperti baru saja membuka bab dalam hidup seseorang yg begitu dalam & lembut, namun tak pernah dilihat orang.
Seminggu kemudian, artikel berjudul Lelaki yg Menyimpan Hujan terbit & jadi viral di media sosial. Banyak orang tersentuh oleh kisah Pak Darma. Beberapa bahkan datang jauh-jauh cuma untuk mendengar cerita tentang hujan yg ia simpan.
Namun tak lama setelah itu, Pak Darma meninggal dunia di usia 76 tahun, saat hujan rintik turun pelan di sore hari. Warga desa, yg selama ini menganggapnya aneh, kini berkumpul di rumahnya. Mereka membaca label-label botol dengan rasa haru, menyadari bahwa lelaki tua itu bukan sekadar penyimpan hujan, tetapi juga penjaga kenangan, penjaga sayang.
Dika mewarisi beberapa botol hujan Pak Darma. Ia membawa botol-botol itu ke kota, lalu menciptakan pameran bertajuk Kenangan yg Tak Pernah Menguap. Setiap botol menceritakan bagian dari kehidupan yg sering kita anggap sepelesebuah pelukan, sebuah tawa, atau perpisahan di bawah langit yg menangis.
Sejak hari itu, banyak orang mulai menyadari bahwa hujan bukan cuma air dari langit. Kadang ia adalah suara dari masa lalu yg harap didengar kembali.
