Rumah di Ujung Ladang
Di sebuah desa kecil bernama Selojati, tersembunyi di antara perbukitan & ladang jagung yg menguning, berdiri sebuah rumah tua berwarna cokelat kusam. Rumah itu sudah lama kosong, berdiri kaku di ujung ladang seperti penjaga bisu yg menanti sesuatu yg tak kunjung datang. Warga desa menyebutnya Rumah Pak Maja, meski sang pemilik sudah menghilang lebih dari dua puluh tahun lalu, tak ada yg tahu ke mana perginya.
Suatu hari, datanglah seorang pemuda bernama Arman dari kota. Ia mewarisi rumah itu dari pamannya yg baru saja meninggal. Arman, seorang penulis cerita misteri, merasa ini adalah kesempatan sempurna: tempat yg tenang, jauh dari hiruk-pikuk kota, & penuh suasana yg mendukung kreativitas.
Namun sejak malam perdana tinggal di sana, Arman mulai merasa ada yg aneh.
Suara ketukan dari loteng terdengar setiap pukul dua dini hari. Bukan suara tikus atau angin, melainkan suara berat seperti seseorang berjalan pelan dengan sepatu kayu. Lampu yg sudah diganti tetap berkedip-kedip. Dan yg paling menciptakannya gelisah, setiap pagi Arman menemukan segelas air yg sudah ditaruh rapi di depan pintu kamarnya, padahal ia tinggal sendirian.
Arman, bukannya takut, justru merasa tertarik. Ia mulai menulis catatan harian tentang kejadian-kejadian tersebut. Ia menuliskannya bukan dengan panik, tetapi dengan semangat seorang detektif yg menemukan teka-teki baru.
Hari kelima, ia mencoba menunggu di depan pintu kamarnya hingga pukul dua pagi. Dan benar sajadari ujung lorong yg remang, muncul sesosok bayangan wanita tua berjalan pelan sambil membawa nampan. Ia mengenakan kebaya putih lusuh, wajahnya samar, tetapi senyumnya lembut.
Siapa Anda? tanya Arman.
Perempuan itu cuma meletakkan gelas air di lantai, lalu berbalik, menghilang begitu saja di tikungan menuju dapur.
Keesokan harinya, Arman menelusuri arsip desa & menemukan sesuatu yg mengejutkan: Pak Maja memiliki seorang istri yg meninggal karena demam tinggi dua pekan sebelum ia menghilang. Dalam catatan medis desa, tercatat bahwa wanita itu bernama Ibu Raras. Ia diketahui sangat menyayangi suaminya, bahkan konon hingga napas terakhirnya ia masih memikirkan apakah Pak Maja sudah minum atau belum.
Arman mulai merasa ada hubungan antara kejadian yg ia alami dengan kisah lama itu. Ia pun menulis cerpen berjudul **”Segelas Air dari Raras”**, yg kemudian viral di media sosial & membawa namanya diketahui sebagai penulis rahasia muda berbakat.
Tapi kisahnya tak berhenti di situ.
Suatu malam, saat ia baru pulang dari toko kelontong di desa, Arman mendapati rumahnya terang benderang. Semua lampu menyala, aroma kembang setaman memenuhi udara. Ia berjalan perlahan masuk ke dalam. Di ruang tamu, duduk seorang pria tua berjanggut putih mengenakan baju koko & sarung, menatapnya dengan mata merah.
Apa kau yg tinggal di sini sekarang? tanyanya lirih.
Arman mengangguk. Saya pewarisnya. Keponakan Pak Maja.
Lelaki itu menatapnya dalam. Jangan tinggal di sini terlalu lama. Raras belum tenang. Ia menunggu suaminya, bukan orang lain.
Begitu berkata demikian, sosok itu lenyap di udara. Hanya sarungnya yg tersisa, tergeletak di lantai seperti ditinggalkan begitu saja.
Setelah malam itu, tidak ada lagi suara langkah dari loteng. Tidak ada air di depan pintu. Tapi suasana rumah jadi dharap, seperti ada sesuatu yg hilangatau sedang bersiap untuk kembali.
Arman akhirnya memutuskan pindah. Ia merasa sudah cukup mendapat inspirasi. Tapi sebelum pergi, ia menaruh satu gelas air di depan kamar utama rumah itu, lalu berbisik pelan:
Bu Raras, terima kasih. Semoga Ibu dapat segera berjumpa Pak Maja.
Ia menutup pintu, & di kejauhan, dari arah loteng, terdengar suara halus seperti seorang wanita tertawa pelan lalu menghilang bersama angin ladang jagung yg bergoyang perlahan.
—
