Toko Buku di Ujung Senja
Di sebuah kota kecil yg jarang disebut dalam peta, berdirilah sebuah toko buku tua bernama *Senja*. Toko itu terletak di ujung gang sempit yg dihiasi lampu-lampu kuning temaram, diapit oleh bangunan tua yg nyaris roboh & jalanan berbatu yg berderak setiap kali dilewati. Toko itu sudah ada sejak puluhan tahun lalu, diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya, hingga akhirnya jatuh ke tangan seorang pria bernama Jati.
Jati bukan seorang kutu buku. Ia justru dulu adalah seorang perantau, pengamen, bahkan pernah jadi tukang cuci piring di kapal pesiar. Tapi ketika ibunya meninggal & mewariskan toko itu padanya, ia merasa ada sesuatu yg harus ia jagabukan cuma bangunannya, tetapi kenangan, bau kertas tua, & kisah-kisah yg belum sempat dihinggakan.
Toko *Senja* bukan toko buku besar. Rak-raknya berderit, beberapa buku sudah menguning, & atapnya bocor ketika hujan. Tapi ada keajaiban kecil di sana: setiap sore, menjelang mentari tenggelam, sering datang satu pelanggan misteriusseorang gadis muda bernama Sekar. Dia tidak pernah membeli buku, cuma duduk di pojok, membaca selama satu jam, lalu pulang tanpa suara.
Awalnya Jati menganggapnya aneh, tetapi lama-lama ia terbiasa. Ia diam-diam memperhatikan judul-judul yg dibaca Sekar. Buku filsafat, puisi, cerita rakyat. Tak pernah genre populer. Suatu sore, saat langit berwarna merah keemasan & aroma tanah basah memenuhi udara, Sekar menatap Jati & berkata, Toko ini mengingatkanku pada ayah.
Jati diam. Sekar melanjutkan, Ayahku dulu suka membacakan puisi sebelum tidur. Setelah dia pergi, saya tidak dapat membaca tanpa merasa kehilangan.
Mereka tak berbicara lebih banyak, tetapi semenjak hari itu, Jati mulai menyiapkan teh hangat setiap sore. Ia menaruhnya di dekat meja pojok, diam-diam. Sekar meminumnya tanpa bicara, namun dari tatapannya, Jati tahu: itu cukup.
Bulan berganti. Toko itu pelan-pelan berubah. Jati membersihkan debu, memperbaiki atap, bahkan mulai menjual kopi & biskuit. Anak-anak mulai datang. Seorang guru SMA menitipkan buku-buku bekasnya. Seorang pensiunan penulis datang tiap minggu, menawarkan kelas menulis gratis.
Toko *Senja* tak lagi sunyi. Ia hidup.
Suatu hari, Sekar tidak datang. Sore itu langit mendung, & hujan turun deras. Jati merasa ada yg hilang. Hari berikutnya pun begitu. Seminggu. Sebulan.
Lalu sebuah surat datang. Tanpa nama pengirim, cuma secarik kertas bertuliskan:
*”Terima kasih sudah menghidupkan tempat yg menyimpan ayahku. Aku harus pergi mengejar mimpiku. Tapi setiap kali saya membaca, saya tahuaku membaca di Senja.”*
Jati tersenyum. Ia berdiri di depan tokonya, menatap langit yg menggelap perlahan, dengan lampu kuning yg mulai menyala. Di tangannya ada sebuah buku puisi, & di kepalanyakenangan yg tidak akan pernah usang.
—
**~ Tamat ~**
—