Di Balik Pintu Nomor Tujuh
Angin malam menyusup pelan lewat celah-celah jendela tua rumah kos itu. Rumah berlantai dua yg berdiri di pinggir kota itu sudah berdiri sejak 1980-an, dihuni oleh para pekerja muda yg datang dari berbagai daerah, mencoba peruntungan di ibukota.
Dio, seorang pria 31 tahun yg bekerja di toko retail, baru saja kembali dari shift sore. Tubuhnya lelah, gaji pas-pasan, & pikirannya masih dipenuhi target untuk hidup lebih baik. Ia tinggal di kamar nomor lima, dekat dengan tangga kayu yg mengarah ke lantai atas.
Namun, belakangan ini, ia sering mendengar suara aneh dari kamar nomor tujuhkamar yg konon sudah lama kosong.
Setiap malam, sekitar pukul 02.00, terdengar suara langkah pelan, seperti seseorang berjalan bolak-balik. Kadang terdengar suara kursi bergeser, bahkan suara samar seperti seseorang bernyanyi dalam nada rendah, tetapi lirih. Penghuni lain juga mulai merasa tak nyaman, namun tak ada yg berani membahasnya secara terbuka.
Rasa penasaran Dio makin menjadi. Pada suatu malam Jumat, setelah membaca doa-doa pendek, ia memutuskan untuk mengintip dari celah pintu kamar nomor tujuh. Ia tahu kuncinya tak pernah diganti sejak dulu, & penjaga kos juga tak terlalu peduli soal keamanan.
Dengan senter kecil & jantung berdebar, Dio membuka pintu itu perlahan. Ruangan gelap, lembap, & berdebu. Tapi… ada sesuatu yg janggal.
Di sudut kamar itu ada cermin akbar berbingkai emas, & di depannya tergeletak kursi rotan yg tampak masih baru. Dio melangkah mendekat. Saat ia menyalakan senter ke arah cermin, pantulan dalam cermin itu bukan kamarnyamelainkan kamar yg bersih, terang, & ada sosok wanita duduk membelakanginya.
Wanita itu berambut panjang, mengenakan gaun putih, & tengah menyisir rambutnya dengan perlahan.
Dio mundur satu langkah. Jantungnya melonjak. Ia menoleh ke belakang, tak ada siapa-siapa di kamar. Tapi dalam cermin, wanita itu berhenti menyisir, & mulai menoleh… perlahan… ke arahnya.
Refleks, Dio mematikan senter & menutup pintu kamar nomor tujuh.
Sejak malam itu, ia tak pernah berani mendekati kamar itu lagi. Tapi mimpinya mulai terganggu. Hampir tiap malam, ia bermimpi melihat wanita dalam cermin itu, duduk diam & menatapnya tanpa ekspresi. Kadang, dalam mimpi, ia melihat dirinya sendiri masuk ke dalam cermin & tak dapat keluar lagi.
Dua pekan setelah kejadian itu, ibu kos akhirnya buka suara. Ia bercerita bahwa dulu, kamar nomor tujuh dihuni oleh seorang wanita muda bernama Ayu. Ia seorang perantau yg tak pernah pulang kampung, & suatu hari ditemukan meninggal di depan cermingantung diri, konon karena putus asa.
Sejak saat itu, tak ada yg betah tinggal di kamar itu lebih dari seminggu. Beberapa mencoba menyewa, tetapi sering pindah dengan alasan aneh: sakit tiba-tiba, mimpi buruk, bahkan ada yg hilang ingatan sesaat.
Dio memutuskan untuk menulis semua pengalamannya dalam buku harian digital. Bukan untuk menakuti orang, tetapi sebagai pengingat: bahwa kota ini menyimpan banyak cerita yg tak masuk akal. Dan kadang, rasa penasaran dapat membuka pintu yg semestinya tetap tertutup.
Pintu nomor tujuh kini digembok permanen.
Tapi penghuni kos baru sering bertanyakenapa tiap malam pukul 02.00, dari arah kamar itu masih terdengar suara wanita bersenandung?