Hanya Aku yg Menunggu
Namanya Raya. Ia datang seperti pagi yg tenang di antara deru kehidupan yg sering kali gaduh. Bukan orang yg menonjol di keramaian, tetapi sering sanggup menciptakan waktu terasa lebih lambat saat ia berbicara. Senyumnya bukan yg paling indah, tetapi cukup untuk menciptakan jantungku berdetak tak beraturan.
Aku mengenalnya sejak semester awal kuliah. Kami satu kelas, satu kelompok praktikum, bahkan sempat sekelompok dalam beberapa tugas besar. Dari semua itu, saya sadar, perasaanku tumbuh tanpa aba-aba. Tidak sekaligus jatuh, tetapi perlahan. Seperti hujan yg turun rintik-rintik sebelum akhirnya deras.
Raya sering bercerita banyak haltentang keluarganya di Bandung, tentang mimpinya jadi penulis buku anak, hingga tentang laki-laki yg diam-diam menciptakan matanya bersinar.
Namanya Rino. Senior satu angkatan di organisasi kampus. Tinggi, tenang, & menurutku biasa saja. Tapi di mata Raya, dia berbeda. Setiap kali Rino lewat saat kami duduk di taman kampus, Raya sering berhenti bicara sejenak. Matanya mengikuti langkah Rino, lalu tersenyum kecil. Saat itulah, hatiku berdenyut perih, tetapi tetap tersenyum menemaninya.
Aku adalah pendengar loyal cerita-cerita tentang Rino. Tentang betapa Rino pintar menyusun kalimat, tentang caranya membawakan materi dalam pelatihan, bahkan tentang bagaimana Rino menyukai kopi hitam tanpa gula.
Dan aku saya tidak suka kopi.
Pernah suatu malam, saat hujan deras seperti ini, kami duduk di kantin kampus yg hampir kosong. Raya bercerita dengan mata berbinar, bahwa Rino akhirnya membalas pesannya. Sebuah pesan singkat: Makasih ya udah dateng ke acaraku tadi.
Aku cuma mengangguk, berusaha tak terlihat patah. Tapi hatiku remuk perlahan.
Aku harap dia tahu, kalau saya benar-benar serius, mengatakan Raya malam itu sambil memeluk jaketnya erat. Aku tahu dia belum tentu punya rasa yg sama. Tapi nggak apa-apa. Aku cuma harap dia tahu aja.
Aku harap menjawab, Kalau begitu, bagaimana denganku yg juga merasa hal yg sama pada kamu? Tapi suaraku tertahan di tenggorokan. Kalimat itu cuma jadi gema dalam benak, tak pernah jadi suara nyata.
Setiap hari saya menguatkan diri. Menemani Raya mencari hadiah untuk Rino, memotret Raya diam-diam saat dia tampak bahagia, menghapus chat yg hampir kukirim berisi perasaanku. Setiap kali saya harap jujur, saya teringat senyumnya saat menyebut nama Rino.
Mungkin, mensayangi diam-diam adalah satu-satunya cara supaya saya tetap berada di sisinya.
Sampai hari itu datang.
Hari di mana Raya mendatangiku dengan paras berbinar lebih dari biasanya. Tangannya menggenggam sebuah undangan kecil berwarna krem.
Aku diundang ke acara perkawinan Rino pekan depan, katanya.
Aku menatapnya. Hati ini terasa kosong. Kamu datang?
Datang. Aku mau kasih selamat langsung.
Aku mengangguk. Lalu berpaling, pura-pura sibuk membuka buku catatan.
Malam itu saya menangis. Bukan karena Rino, bukan karena undangan itu, tetapi karena saya sadar: yg paling menyakitkan bukan ketika sayang kita ditolak, tetapi ketika sayang kita bahkan tak pernah sempat diperjuangkan.
Dan Raya, seperti biasa, tak pernah tahu. Dia tak pernah menyadari bahwa selama ini, seseorang yg benar-benar mensayanginya cuma duduk tak jauh darinya, dalam diam, menunggu kesempatan yg tak pernah datang.
—