Rumah Nomor 17

Sudah lama rumah itu kosong. Rumah tua di ujung jalan Gang Melati, tepatnya nomor 17. Atapnya sudah ditumbuhi lumut, cat temboknya mengelupas, & jendela kayunya berderit tiap diterpa angin. Warga sekitar menyebutnya rumah bisukarena tak pernah terdengar suara dari dalamnya selama bertahun-tahun.

Namun semua berubah ketika seorang pemuda bernama **Gilang** pindah ke sana.

Gilang adalah penulis muda yg pindah dari kota ke desa untuk mencari suasana baru. Ia tertarik pada rumah nomor 17 karena harganya sangat murah & pemilik lamanya tidak banyak tanya. Ambil saja kalau berani tinggal, mengatakan si penjual sambil tersenyum aneh.

Hari perdana di rumah itu berjalan tenang. Gilang menikmati suasana sunyi yg menurutnya ideal untuk menulis novel barunya. Tapi malam hari, sesuatu mulai terasa janggal. Tepat pukul 2 dini hari, ia mendengar suara ketukan dari loteng. *Tok tok tok*

Gilang naik ke atas, membuka loteng yg gelap & berdebu. Tapi tidak ada siapa-siapa di sana. Ia menganggap itu cuma suara kayu yg memuai. Namun malam berikutnya, suara itu kembali. Kali ini diiringi bisikan lirih. Suara perempuan.

Pulangkan aku

Gilang terbangun dengan keringat dharap. Tapi ia tetap tinggal. Rasa takut berubah jadi rasa harap tahu. Ia mulai menelusuri bagian-bagian rumah yg belum sempat ia jamah. Di balik lemari tua, ia menemukan **sebuah buku harian berdebu**, bertuliskan nama **Larisa**.

Isi buku itu menciptakan bulu kuduknya merinding.

Larisa adalah seorang gadis yg tinggal di rumah itu bersama ibunya. Ayahnya hilang saat Larisa masih kecil. Ibunya mulai berubah jadi sosok yg aneh & sering terkunci di kamar, berbicara sendiri. Suatu malam, Larisa menulis bahwa ibunya mencoba mengurungnya di loteng. Halaman terakhir buku harian itu berakhir dengan coretan tak beraturan & bercak merah seperti darah.

Gilang menutup buku itu dengan tangan gemetar.

Keesokan harinya, ia bertanya ke warga sekitar. Seorang nenek tua yg tinggal sejak muda menceritakan sesuatu yg menciptakan darah Gilang berdesir.

Larisa itu anak manis. Tapi suatu malam, dia menghilang. Ibunya bilang dia pergi ke rumah bibinya di kota. Tapi tak pernah ada kabar hingga ibunya sendiri meninggal. Beberapa orang bilang mereka dengar jeritan dari rumah itu malam-malam. Tapi siapa yg berani masuk? Rumah itu sudah menyimpan sesuatu.

Sejak itu, Gilang tak dapat tidur. Ia merasa sering diawasi. Cermin di kamar menunjukkan bayangan perempuan berambut panjang. Buku harian Larisa kadang berpindah tempat sendiri. Gilang bahkan sempat menemukan tulisan “AKU DI SINI” di balik pintu kamar mandi.

Puncaknya terjadi pada malam ke-13.

Gilang kembali mendengar suara ketukan dari loteng. Kali ini lebih keras. Dengan berani, ia naik & membuka pintu loteng. Tapi di sana, ia menemukan **sebuah peti kayu tua** yg belum pernah ia lihat sebelumnya.

Dengan tangan gemetar, ia membuka peti itu & menemukan **kerangka manusia kecil** yg dibungkus selimut anak-anak.

Gilang segera melapor ke polisi. Penyelidikan dilakukan. Hasil forensik menunjukkan bahwa kerangka itu memang milik seorang remaja perempuan, & diidentifikasi sebagai Larisa dari DNA yg masih dapat cocok dengan saudara jauhnya.

Rumah itu pun akhirnya dikosongkan total & diberi garis polisi.

Gilang pindah dari desa, membawa serta kisah nyata yg kemudian ia jadikan novel berjudul **”Anak Loteng”**. Novel itu meledak di pasaran. Namun Gilang tak pernah membahas proses penulisannya dalam wawancara.

Satu-satunya catatan ia tinggalkan di akhir bukunya, cuma satu kalimat pendek:

> *Semoga anda tenang sekarang, Larisa.*

—