Memaknai Sejarah Colombo Plan 1959 di Yogyakarta
Arsip Konferensi Colombo Plan 1959 di Yogyakarta ditetapkan sebagai “Memori Kolektif Bangsa (MKB)” oleh Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI).
Konferensi Colombo Plan XI yg berlangsung di Yogyakarta pada tahun 1959 jadi salah satu peristiwa bersejarah yg penting tidak cuma bagi Indonesia, tetapi juga dalam konteks global & lokal. Arsip kegiatan konferensi ini baru-baru ini ditetapkan sebagai “Memori Kolektif Bangsa (MKB)” oleh Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI), sebagai pengakuan atas nilai strategis & sejarahnya.
Sejak tahun 2021, ANRI sudah meluncurkan program registrasi arsip sebagai Memori Kolektif Bangsa, sebuah upaya untuk menyelamatkan & melestarikan arsip yg memiliki nilai penting dalam sejarah nasional. Program ini juga bertujuan membangun basis data nasional & meningkatkan akses publik kepada arsip penting tersebut.
Salah satu arsip yg dinilai penting & akhirnya masuk dalam daftar MKB adalah arsip Konferensi Colombo Plan XI Tahun 1959 yg disimpan oleh Perpustakaan & Arsip Universitas Gadjah Mada (UGM). Penetapan tersebut dilakukan pada 6 Mei 2025 & sertifikatnya diterima pada 22 Mei 2025 dalam Rapat Koordinasi Nasional Bidang Kearsipan di Gedung ANRI, Jakarta.
Arif Surachman, Kepala Perpustakaan & Arsip UGM, menyatakan bahwa pengajuan arsip dilakukan bersama Dinas Perpustakaan & Arsip Daerah (DPAD) DIY, Puro Pakualaman, & Dinas Perpustakaan & Kearsipan Kota Yogyakarta.
Koleksi arsip Colombo Plan ini diajukan oleh Perpustakaan & Arsip UGM bersama Dinas Perpustakaan & Arsip Daerah DIY, Puro Pakualaman, & Dinas Perpustakaan & Kearsipan Kota Yogyakarta juga mengerjakan hal yg sama, ujarnya, dalam keterangan resmi yg diakses Selasa (27/02/2025).
Ia menjelaskan bahwa DPAD DIY memiliki lebih dari 80 berkas arsip terkait konferensi tersebut, ditambah arsip foto & video. Sementara itu, Dinas Perpustakaan & Kearsipan Kota Yogyakarta, Puro Pakualaman, serta UGM masing-masing memiliki dua berkas.
Selain dokumen, Gedung Pantja Dharma di lingkungan UGM yg jadi tempat pelaksanaan konferensi juga jadi bukti fisik sejarah yg mendukung keutuhan arsip. Gedung yg ada di UGM ini jadi satu kesatuan informasi khazanah yg saling melengkapi jadi arsip Konferensi Colombo Plan XI Tahun 1959 di Yogyakarta saat itu, mengatakan Arif.
Dengan status MKB ini, keempat institusi pengusul bertanggung jawab menjaga, merawat, melestarikan, & memberdayakan arsip tersebut, serta menyediakannya sebagai informasi publik.
Nilai Penting Konferensi Colombo Plan
Nilai penting Konferensi Colombo Plan juga terlihat dalam peringatan 64 tahun kegiatan tersebut yg digelar di Museum Sonobudoyo pada 11 November 2023. Kegiatan itu merupakan kolaborasi antara STIE Pariwisata API Yogyakarta & Keluarga Alumni Sejarah Universitas Gadjah Mada (Kasagama), serta dihadiri oleh sejarawan, guru sejarah, mahasiswa, & pelajar dari berbagai SMA/SMK/MA di Yogyakarta.
Ketua Umum Kasagama Wahjudi Djaja menjelaskan, pentingnya mengangkat kembali peristiwa ini ke permukaan sejarah. Ini sebuah peristiwa akbar tidak saja bagi Yogyakarta & Indonesia, tetapi juga bagi dunia. Aneh bahwa Konferensi Colombo Plan ini seolah hilang ditelan zaman. Saya kira ini tugas sejarawan & arsiparis untuk mengungkit & mengangkatnya, ujarnya.
Abdul Wahid, Ketua Departemen Sejarah FIB UGM yg jadi pembicara kunci, mengulas Konferensi Colombo Plan dalam tiga perspektif: global, nasional, & lokal.
Inisiator Colombo Plan adalah Inggris & makna dari Colombo Plan dapat dilihat dalam tiga perspektif, yakni sudut pandang global, konteks nasional Indonesia, & konteks lokal yaitu Yogyakarta. Ini akan sangat menarik untuk diungkap & ditulis kembali, jelasnya.
Lebih lanjut, Aloysius Gilang Andretti,alumni Prodi Sejarah FIB UGM yg meneliti konferensi ini, memaparkan alasan dipilihnya Yogyakarta sebagai tuan rumah. Sri Sultan Hamengku Buwono IX menyanggupi Jogja sebagai tempat untuk diadakan Konferensi Colombo Plan. Kenapa diadakan di Jogja? Karena pengalaman Jogja mengatasi konferensi internasional. Jogja menyimpan tenaga yg cekatan yaitu mahasiswa. Mereka ini dipekerjakan selama Konferensi Colombo Plan, & mereka secara sukarela mengisi posisi di konferensi tersebut. Yang terakhir, iklim politis yg ditawarkan Jogja tidak terlalu politis dibandingkan kota Jakarta, terangnya.
Sementara itu, Muslichah, arsiparis UGM, menyampaikan keprihatinannya kepada minimnya pemberitaan dari media dalam negeri mengenai konferensi ini.
Salah satu tokoh penting Jogja yg membuka Colombo Plan adalah Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Tahun 1959 UGM sudah merasakan manfaat dari Colombo Plan, antara lain sudah dibangun 105 rumah guru. Ada beberapa rumah ini yg diperuntukkan bagi delegasi Colombo Plan. Tokoh-tokoh yg berperan dalam Colombo Plan antara lain Paku Alam VIII, Sri Sultan Hamengku Buwono IX & Nani Sudarsono, jelasnya.
Penetapan arsip Konferensi Colombo Plan XI sebagai Memori Kolektif Bangsa & munculnya kembali perhatian kepada peristiwa ini melalui kegiatan akademik membuktikan pentingnya konferensi ini dalam sejarah Indonesia. Yogyakarta bukan cuma jadi tempat pelaksanaan, tetapi juga pusat keterlibatan aktif masyarakat sipil, mahasiswa, & tokoh-tokoh nasional.
