Kertas-kertas yg Tak Pernah Dibuang
Di sebuah kota kecil bernama Langit Biru, terdapat toko buku tua yg terjepit di antara dua bangunan modern. Namanya Arsip Waktu. Tidak banyak yg tahu toko itu masih buka, karena catnya mengelupas, papan namanya nyaris runtuh, & pintunya berderit seperti menjerit tiap kali dibuka.
Pemiliknya adalah pria tua bernama Pak Mardan. Rambutnya putih semua, matanya tajam, & jalannya lambat tetapi pasti. Ia tinggal sendirian, tanpa istri, anak, atau kerabat yg sering datang.
Namun ada satu hal aneh dari toko itu: semua buku yg dijual adalah bekas, tetapi tak satu pun boleh dibeli sebelum Pak Mardan membacakan sepenggal isi buku tersebut. Katanya, Setiap buku punya kenangan, & kau harus mendengar kisahnya dulu sebelum membawanya pergi.
Suatu hari, datanglah seorang jurnalis muda bernama Raka. Ia mendengar isu bahwa Arsip Waktu menyimpan koleksi naskah tua yg tak pernah diterbitkan, bahkan konon menyimpan tulisan tangan penulis akbar yg hilang secara misterius.
Pak, boleh saya lihat bagian belakang toko ini? tanya Raka, sopan.
Pak Mardan menatapnya lama. Kalau kau cuma mencari berita, lebih baik pergi. Tapi kalau kau harap tahu kebenaran, bersiaplah untuk tak dapat kembali sama.
Raka tergelak. Saya wartawan, Pak. Risiko itu makanan saya sehari-hari.
Malam itu, Pak Mardan mengunci pintu toko & mengajak Raka masuk ke ruang belakang. Di sana, berjajar rak-rak kayu penuh dengan kertas usang, catatan tangan, puisi, surat sayang, & naskah novel yg belum selesai.
Semua ini, mengatakan Pak Mardan, adalah tulisan yg tidak pernah selesai, tidak pernah dikirim, atau tidak pernah dibaca. Tapi mereka tetap hidup di sini. Menunggu seseorang yg mau mendengarkan.
Raka mengambil selembar kertas dengan tinta pudar. Di sana tertulis: *Aku tahu kau membaca ini setelah saya tiada. Tapi kalau sayang dapat menyebrangi waktu, biarkan saya kembali melalui kata-kata.*
Seketika, ruangan terasa lebih dharap. Lampu redup berkedip. Rak buku bergetar pelan. Raka menoleh ke Pak Mardan, tetapi pria tua itu memejamkan mata seperti sedang mendengar musik yg tak terdengar.
Banyak orang berpikir tulisan adalah benda mati, bisik Pak Mardan. Tapi mereka lupa bahwa setiap huruf adalah napas penulisnya. Dan kadang, napas itu belum berhenti
Raka menginap malam itu di toko. Ia terus membaca tulisan demi tulisansurat pengakuan, naskah puisi patah hati, jurnal perjalanan seorang penjelajah yg hilang, hingga coretan anak kecil yg berkata, *Ayahku janji akan pulang. Tapi tak pernah datang.*
Setiap tulisan menciptakan suasana berubah. Kadang hangat seperti pelukan, kadang menyeramkan seperti bayangan di sudut ruangan. Tapi satu hal pasti: mereka terasa hidup.
Keesokan paginya, Raka menulis artikel berjudul **Toko Buku yg Menyimpan Nyawa**, tetapi saat hendak mengirimnya ke redaksi, ia ragu. Bukan karena takut tak dipercaya, tetapi karena ia tahu: begitu tulisan itu keluar, toko itu akan ramai, & rahasia akan hilang.
Akhirnya, ia menyimpan artikel itu. Ia datang lagi ke Arsip Waktu pekan berikutnya, & pekan berikutnya lagi. Tak sebagai jurnalis, tetapi sebagai pendengar.
Beberapa bulan kemudian, Pak Mardan meninggal dalam tidur. Tapi toko tidak tutup. Raka, entah mengapa, kini yg berdiri di balik meja, menyambut setiap tamu dengan senyum & berkata:
> Setiap buku punya kenangan. Dan kau harus mendengarnya dulu sebelum membawanya pergi.
—