Langkah Terakhir di Jalan Kenanga
Malam baru saja turun di kota kecil bernama Sindang Rasa. Udara lembap & sejuk menyelimuti jalanan yg lengang. Di tengah kota, terdapat jalan kecil bernama Jalan Kenanga. Orang-orang jarang melintasi jalan itu, bukan karena sempit atau rusak, tetapi karena jalan itu menyimpan kisah yg tak pernah selesai.
Adalah Nara, seorang mahasiswi jurusan arkeologi, yg baru saja pindah ke kota ini demi menyelesaikan skripsi tentang sejarah kolonial yg terkubur di kota kecil seperti Sindang Rasa. Ia menyewa kamar kos di rumah tua milik seorang nenek bernama Bu Rukmini, yg letaknya tepat di ujung Jalan Kenanga.
Kalau malam jangan keluar ke Jalan Kenanga ya, Nak, mengatakan Bu Rukmini suatu malam saat menyajikan teh manis.
Kenapa, Bu? Jalan itu kan dekat, tenang, & sepi, tanya Nara penasaran.
Karena ada yg belum selesai di sana
Kalimat itu menggantung, & Bu Rukmini tak mau melanjutkan. Tapi rasa penasaran Nara tak pernah dapat padam cuma dengan satu peringatan. Keesokan malamnya, Nara keluar membawa kamera & catatan, berjalan menyusuri Jalan Kenanga seorang diri.
Langkahnya pelan. Lampu jalan temaram, cuma menyala setiap tiga tiang. Ia melihat rumah-rumah tua berjendela kayu, beberapa tertutup rapat, beberapa terlihat seperti tak berpenghuni. Di tengah jalan, ia melihat sesuatu yg aneh: sebuah bangku taman tua yg sering bersih, padahal tak ada orang yg merawatnya.
Nara duduk di bangku itu. Angin malam mulai berhembus. Ia mengeluarkan catatan & menulis deskripsi suasana. Tapi belum sempat selesai, terdengar suara langkah dari ujung jalan. Perlahan, ritmis, & sangat ringan. Nara menoleh, namun tak ada siapa pun.
Siapa di sana? serunya.
Tak ada jawaban.
Langkah itu terus mendekat. Tapi bayangan siapa pun tak muncul.
Tiba-tiba, udara jadi dharap. Sangat dharap.
Bangku di sebelahnya seperti tertekan. Seolah ada yg duduk di situ. Nara membeku. Ia memalingkan kepala dengan sangat pelan. Di sisi kanannya, samar, ada sosok perempuan berambut panjang mengenakan kebaya putih duduk dengan kepala menunduk. Wajahnya tak terlihat, tetapi tangan pucatnya menggenggam erat sebuah surat tua yg terlipat.
Perempuan itu mulai berbisik. Suaranya nyaris tak terdengar, tetapi kata-katanya menggores dalam.
Surat ini… belum pernah hingga.
Nara harap lari, tetapi tubuhnya kaku. Sosok itu lalu berdiri & berjalan menuju rumah tua di ujung jalan, lalu menghilang. Setelah detik-detik menegangkan itu, tubuh Nara dapat bergerak. Ia berlari kembali ke kosan, napasnya tersengal, wajahnya pucat pasi.
Keesokan harinya, Nara menceritakan semua kepada Bu Rukmini. Sang nenek menghela napas berat, lalu mengambil kotak kayu dari lemari.
Dua puluh tahun lalu, ada gadis bernama Kenanga. Ia tinggal di rumah ujung jalan itu. Ia jatuh sayang pada tentara Belanda yg harap kabur dari pertempuran. Tapi surat perpisahan yg ia tulis tak pernah hingga. Ia bunuh diri di bangku itu.
Nara membuka kotak kayu itu. Di dalamnya, tersimpan surat tua dengan tulisan tangan halus:
*”Kepada anda yg kusayang, saya maafkan segalanya. Tapi saya tak dapat hidup tanpa menjelaskan ini. Jika anda baca surat ini, mungkin saya sudah tak ada. Tapi sayangku akan tetap tinggal di bangku itu.”*
Tangan Nara gemetar. Surat itu sama persis seperti yg digenggam sosok semalam.
Sejak malam itu, Nara tak pernah lagi melewati Jalan Kenanga. Tapi ia menuliskan kisah itu dalam skripsinya, & jadi bahan penelitian yg ramai dibicarakan. Tapi tak ada yg tahu satu hal:
Setiap malam, bangku tua itu tetap bersih, seakan dijaga seseorang yg tak pernah pergi. Dan sesekali, seseorang melihat bayangan perempuan duduk, menunggu mungkin surat itu belum juga hingga.
—