Rumah di Ujung Hujan
Di sebuah desa kecil yg sering diselimuti kabut pagi & suara jangkrik malam, terdapat sebuah rumah tua di ujung jalan berbatu. Warga desa menyebutnya *Rumah di Ujung Hujan*, karena setiap kali hujan turun, rumah itu terlihat lebih hidupseolah ia bernafas.
Konon, rumah itu ditinggali oleh seorang wanita tua bernama Nyai Sari. Tidak ada yg tahu pasti sejak kapan ia tinggal di sana. Sebagian berkata ia sudah ada sejak desa itu belum bernama, beberapa lain mengira ia cuma bayangan dari masa lalu yg enggan pergi.
Suatu hari, datanglah seorang pemuda bernama Raka dari kota. Ia adalah mahasiswa seni rupa yg sedang mencari tempat tenang untuk menyelesaikan lukisan tugas akhirnya. Ia menyewa rumah kecil tak jauh dari *Rumah di Ujung Hujan*.
Malam pertama, saat hujan turun deras, Raka mendengar suara gamelan samar dari arah rumah tua itu. Tidak ada cahaya, cuma irama lembut yg terasa seperti menghipnotis. Penasaran, keesokan harinya ia bertanya pada warga desa.
Kalau dengar suara itu, jangan didekati, mengatakan Pak Lurah. Itu bukan untuk manusia biasa.
Namun rasa penasaran Raka terlalu besar. Malam berikutnya, ia membawa payung & menyusuri jalan berlumpur ke arah rumah itu. Anehnya, semakin dekat ia melangkah, suara gamelan terdengar semakin jernih, & hujan terasa hangat, seperti hujan musim panas.
Pintu rumah itu terbuka perlahan, seperti menyambutnya. Di dalam, Raka melihat Nyai Sari sedang duduk menghadap cermin besar. Wajahnya tidak tampak tua, bahkan cantik, dengan rambut panjang terurai & senyum misterius.
Sudah lama saya menunggumu, mengatakan Nyai Sari. Akhirnya anda datang.
Aku… tidak mengerti. Siapa Nyai?
Kamu keturunan terakhir yg masih hidup. Kamu mewarisi darah penjaga bunyi-bunyi ini.
Raka terpaku. Ia harap lari, tetapi tubuhnya membeku.
Malam itu, Nyai Sari menceritakan tentang warisan leluhur mereka yg berasal dari zaman kerajaan. Ia adalah penjaga melodi gaib yg cuma dapat didengar oleh mereka yg terpilihmelodi yg dapat membuka gerbang antara dunia nyata & dunia arwah.
Setelah malam itu, Raka tidak pernah kembali ke kota. Rumah kontrakannya kosong, & cuma lukisan yg tertinggal: sebuah potret seorang wanita tua dengan mata dalam & senyum tipis, duduk di depan cermin di tengah hujan.
*Dan sejak saat itu, suara gamelan di rumah itu jadi lebih sering terdengar. Kini warga menyebutnya, Rumah di Ujung Hujan… yg tak lagi sendiri.*
—