Langkah Kecil Diujung Senja
Langit mulai berubah warna. Awan jingga berarak pelan seolah menari mengikuti lagu alam yg tak terdengar. Di sebuah desa kecil bernama Kalinusa, seorang anak laki-laki bernama Raka duduk di tepi sawah, memandangi mentari yg perlahan tenggelam.
Usianya baru sebelas tahun, tetapi hidup sudah mengajarkannya banyak haltentang kehilangan, tentang bertahan, & tentang harapan.
Ibunya sudah tiada sejak tiga tahun lalu karena demam berdarah yg tak sempat ditangani dengan cepat. Ayahnya pergi merantau ke kota & belum pulang-pulang. Sejak itu, Raka tinggal bersama neneknya, Mbah Sumi, seorang penenun tikar pandan yg pendengarannya mulai menurun, tetapi hatinya masih selembut kain sutra.
Setiap sore, Raka menolong Mbah Sumi mengangkat tikar yg sudah dijemur, lalu menjualnya ke pasar setiap dua hari sekali. Namun sore ini berbeda. Angin berhembus lebih kencang dari biasanya, membawa kabar entah dari mana. Raka merasa hatinya tidak tenang.
Mbah, katanya sambil menatap langit, kalau kita punya mimpi, tetapi nggak tahu cara meraihnya, harus gimana?
Mbah Sumi berhenti menenun. Ia menatap cucunya dengan sorot mata yg sudah menyimpan banyak cerita.
Kamu tahu burung jalak di pohon berharap itu? tanyanya pelan.
Raka mengangguk. Yang sering datang pagi-pagi itu?
Ya. Burung itu dulu pernah jatuh waktu masih kecil. Sayapnya patah. Tapi tiap pagi, dia tetap nyanyi. Nggak takut meski nggak dapat terbang jauh. Sekarang lihat dia dapat terbang ke ujung desa.
Raka terdiam. Ia mulai mengerti maksud sang nenek.
Mimpi itu kayak terbang, lanjut Mbah Sumi. Nggak semua orang dapat langsung tinggi. Kadang, kita harus belajar jalan dulu sebelum lari. Dan kalau sayap kita patah, kita dapat tumbuhin yg barupelan-pelan.
Malam itu, Raka menulis surat untuk ayahnya. Ia tulis dengan pensil yg ujungnya sudah tumpul, di atas kertas bekas bungkus mie instan.
> Ayah, Raka di sini baik-baik saja. Mbah juga sehat, meski sering batuk kalau malam. Raka harap sekolah hingga SMA. Raka juga harap punya warung kecil jualan jajanan. Tapi Raka tahu itu butuh waktu & uang. Kalau Ayah belum dapat pulang, nggak apa-apa. Raka akan jaga Mbah & belajar yg rajin. Nanti kalau Raka sudah besar, Raka janji akan bahagiain Ayah & Mbah.
>
> Dari anakmu,
> Raka.
Ia titipkan surat itu pada Pak Wardi, tetangga yg besok akan ke kota. Raka tak tahu apakah ayahnya akan membalas, tetapi ia merasa lebih lega setelah menulisnya.
Hari-hari berlalu. Raka mulai menyisihkan uang hasil menjual tikar, sedikit demi sedikit. Ia juga mulai belajar menciptakan es lilin & menjualnya di depan rumah. Anak-anak desa senang, & perlahan usahanya berkembang. Ia tak pernah berhenti bermimpi, meski jalan di depannya tak sering terang.
Empat tahun kemudian, saat Raka duduk di bangku SMP, sebuah motor tua berhenti di depan rumah. Seorang pria dengan paras letih & mata berkaca-kaca turun dari motor itu.
Raka? suaranya berat, gemetar.
Raka mengenali suara itu meski sudah lama tak ia dengar. Ia berdiri kaku, air mata menetes tanpa dapat ditahan.
Ayah?
Keduanya berpelukan erat. Tak ada kata-kata yg dapat menggambarkan perasaan mereka. Di belakang mereka, Mbah Sumi tersenyum, lalu melanjutkan menenun tikar seperti biasa. Seolah tak ada yg berubah, padahal dunia Raka baru saja jadi lebih lengkap.
Di ujung senja itu, langkah kecil Raka tak lagi sendiri. Ia tahu, selama ia terus berjalanmeski pelania akan hingga ke tempat yg ia impikan.
—